Visi dan Misi SMA Negeri 3 Boyolali

SMA NEGERI 3 BOYOLALI beralamatkan di Jalan Perintis Kemerdekaan Boyolali Saya akan berbagi informasi mengenai sekolah saya, yaitu SMA N 3 Boyolali atau yang kerap disebut SMAGA BOY / SMAGA.

SMA Negeri 3 Boyolali Adalah Sekolah Adiwiyata

SMA N 3 Boyolali sudah lolos seleksi adiwiyata Nasional pada tahun 2012. Untuk mencapai tujuan program Sekolah Adiwiyata, maka SMA N 3 Boyolali harus melaksanakan 4 (empat) komponen program yang menjadi satu kesatuan utuh dalam mencapai sekolah Adiwiyata.

SEJARAH SINGKAT SMA NEGERI 3 BOYOLALI

Tahukah anda tentang sejarah singkat SMAGA ?

Japanese Club SMAGA

kstrakulikuler Japanese Club adalah salah satu Ekstrakulikuler yang diminati oleh siswa-siswi smaga. Pelajaran bahasa jepang di sma 3 boyolali sendiri masih baru

Onigiri

Ketahui cara membuat onigiri sederhana yang lucu dan cepat

Minggu, 19 April 2020

HUKUM PELECEHAN SEKSUAL DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA


NAMA            : AZIZAH TITA BISYARAH
NIM                : 33030180054
HTN - SII

HUKUM PELECEHAN SEKSUAL DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA

Kasus pelecehan seksual masih kerap terjadi dari dulu hingga saat ini. Berbagai bentuk pelecehan seksual makin berkembang lewat sosial media. Mulai dari pesan tidak senonoh, komentar yang melecehkan, hingga ancaman penyebaran video atau foto lewat sosial media. Bukan hanya dari sosial media pelecehan seksual secara langsung pun masih kerab terjadi seperti aksi pencabulan di angkot atau jalanan, bahkan pemerkosaan di jalanan sepi. Menurut data dari CATAHU Komnas Perempuan sepanjang tahun 2016-2018 tercatat tujuh belas ribu kasus kekerasan seksual dengan delapan ribu kasus pemerkosaan. Artinya dalam 3 tahun terakhir terdapat 8 perempuan yang mengalami pemerkosaan setiap harinya. Pelecehan seksual sendiri haruslah mengandung pemaksaan. Illat yang dijadikan dasar bahwa hal tersebut masuk kategori pelecehan adalah karena adanya unsur memaksa orang lain untuk menonton atau mendengar, menerima dan mengonsumsi suatu hal yang berbau pornografi yang tidak dikehendakinya.[1] Secara defenitif, pelecehan seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatancabul yang sengaja dilakukan seseorang di depan umum atau terhadap orang lainsebagai  korban  baik  laki-laki  maupun  perempuan  tanpa  kerelaan  korban.[2] Pelecehan seksual sendiri sudah termasuk penyimpangan dan masuk tindak pidana.

Hukum Islam
Dalam sebuah hadis sahabat Abdullah ibn Abbas, yang artinya :
“Hadits pertama dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata bahwa aku tidak melihat sesuatu yang lebih mirip dengan ‘kesalahan kecil’ berdasar hadits yang tertuang pada riwayat Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda, ‘Allah telah menakdirkan anak Adam sebagian dari zina yang akan dialaminya, bukan mustahil. Zina kedua mata adalah melihat. Zina mulut adalah berkata. Zina hati adalah berharap dan berkeinginan. Sedangkan alat kelamin itu membuktikannya atau mendustakannya,’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud)
Yang dimaksud dalam hadist adalah setiap anggota tubuh memiliki potensi zina. Dalam konteks hal tersebut dipaksakan kepada orang lain dengan niat buruk untuk melecehkan atau berbuat mesum. Perzinaan dianggap sangat terkutuk dan dianggap jarimah dalam islam.
Sanki atau hukuman (‘uqubah) Menurut  hukum  pidana  Islam seperti yang didefinisikan  oleh  Abdul  Qadir  Audah  dalam  Kitab al  Tasyri'  al Jina’i al Islami menyatakan bahwa hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang  ditetapkan  untuk  kemaslahatan  masyarakat,  karena  adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.[3]
Menurut hukuman pokok apabila melakukan zina akan mendapat hukuman dera seratus kali untuk jarimah zina. Namun setiap perbuatan pelecehan seksual ada tingkatannya, dari sexual abuse hingga pemerkosaan yang paling berat. Allah SWT telah memberi peringatan lewat surah Al-Isra ayat 32, yang artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.”
            Dalam ajaran islam, memegang salah satu anggota bdana lawan jenis saja tidak boleh, apalagi mencium dan hal lainnya yang mendorong kepada perbuatan asusila. Hal tersebut bahkan telah ditegaskan didalam surah An-Nur ayat 30-31. Berdasarkan penafsiran Al-Thabary didalam kitabnya Jami’u al-Bayan fi ayi Al-Qur’an, dijelaskan bahwa hukuman pelecehan seksual yang paling maksimal adalah menjauhi/pengucilan. Pengucilan dizaman sekarang bisa dilakukan dengan penjara, namun seluruhnya tetap harus didasarkan kepada pertimbangan hakim berdasar tingkat kesalahan yang dilakukan.
            Itulah sebabnya Allah memerintahkan hambanya untuk menikah apabila sudah mampu dan menikah agar hawa nafsu manusia tidak disalurkan kepada keburukan.
Hukum Pidana
Tindak pidana pelecehan seksual dapat dituntut dengan dasar pasal 281 KUHP dalam Bab XIV Tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Segala jenis tindakan pencabulan dapat dijerat dengan pasal 289 hingga 296 KUHP sesuai tindak pidana yang dilakukan. Pelaku dapat dikenai sanksi paling lama hingga 15 tahun apabila dalam pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat. Apabila bukti-bukti telah cukup maka Jaksa Penuntut umum dapat mengajukan dakwaanya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.[4]
Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Menurutnya segala perbuatan yang melanggar norma kesopanan dan kesusilaan dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Pelecehan seksual haruslah mengandung adanya ketidakinginan atau penolakan pada suatu tindakan apapun dalam bentuk perbuatan atau perhatian yang bersifat seksual.
Pembuktian dalam kasus pelecehan seksual didasarkan pada pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menggunakan lima macam alat bukti yakni, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Kejahatan pelecehan suksual tidak terbatas pada realitas kehidupan saja, namun tindak pidana pelecehan suksual juga dapat lewat sosial media. Hal tersebut telah diatur didalam UU ITE tentang ketentuan pornografi. Menyebar komentar yang mengandung pelecehan seksual, penyebaran video atau gambar maupun konten asusila, atau penggunaan sosial media sebagai alat untuk mempermudah kegiatan pelecehan seksual dapat dijerap dengan pasal 4 ayat (1) UU Pornografi sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU Pornografi, yang berbunyi :
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)
Serta pasal 296 KUHP, yang berbunyi :
Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah
Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Diharapakan agar semua orang berhati-hati, apabila hal seperti itu terjadi diharap korban dapat langsung melaporkan kejadian sehingga pelaku pelecehan seksual dapat segera dipidana. Berada ditempat umum pun tindak pelecehan seksual masih dapat terjadi, sehingga kewaspadaan sangat diperlukan. Untuk melindungi diri, kita dapat membawa alat pelindung diri seperti semprotan garam apabila hal yang sangat mendesak seperti percobaan pemerkosaan terjadi. Bimbingan secara psikologis maupun psikis dangat diperlukan bagi korban agar bisa kembali di dalam masyarakat.

Referensi :
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2015). Cetakan ke 32
Mashudin, I. (2016). Sanksi tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak dalam perspekrif hukum pidana Islam (Doctoral dissertation, UIN Walisongo).
Annisa, F. (2016). Penegakkan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan Dalam Konsep Restorative Justice. ADIL: Jurnal Hukum, 7(2), 202-211.


[2] Ketentuan Pasal 1 ayat (27), Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Dimuat dalam Dinas Syariat Islam, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2015), hlm. 11.
[3] Mashudin, I. (2016). Sanksi tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak dalam perspekrif hukum pidana Islam (Doctoral dissertation, UIN Walisongo). Hlm.34