NAMA : AZIZAH TITA BISYARAH
NIM : 33030180054
HTN - SII
HUKUM PELECEHAN SEKSUAL DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA
Kasus pelecehan seksual masih kerap terjadi dari dulu
hingga saat ini. Berbagai bentuk pelecehan seksual makin berkembang lewat
sosial media. Mulai dari pesan tidak senonoh, komentar yang melecehkan, hingga
ancaman penyebaran video atau foto lewat sosial media. Bukan hanya dari sosial
media pelecehan seksual secara langsung pun masih kerab terjadi seperti aksi
pencabulan di angkot atau jalanan, bahkan pemerkosaan di jalanan sepi. Menurut
data dari CATAHU Komnas Perempuan sepanjang tahun 2016-2018 tercatat tujuh
belas ribu kasus kekerasan seksual dengan delapan ribu kasus pemerkosaan.
Artinya dalam 3 tahun terakhir terdapat 8 perempuan yang mengalami pemerkosaan
setiap harinya. Pelecehan seksual sendiri haruslah mengandung pemaksaan. Illat yang
dijadikan dasar bahwa hal tersebut masuk kategori pelecehan adalah karena
adanya unsur memaksa orang lain untuk menonton atau mendengar, menerima dan
mengonsumsi suatu hal yang berbau pornografi yang tidak dikehendakinya.[1] Secara
defenitif, pelecehan seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatancabul yang
sengaja dilakukan seseorang di depan umum atau terhadap orang lainsebagai korban
baik laki-laki maupun
perempuan tanpa kerelaan
korban.[2]
Pelecehan seksual sendiri sudah termasuk penyimpangan dan masuk tindak pidana.
Hukum Islam
Dalam
sebuah hadis sahabat Abdullah ibn Abbas, yang artinya :
“Hadits pertama dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata bahwa aku tidak
melihat sesuatu yang lebih mirip dengan ‘kesalahan kecil’ berdasar hadits yang
tertuang pada riwayat Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda, ‘Allah telah menakdirkan anak Adam
sebagian dari zina yang akan dialaminya, bukan mustahil. Zina kedua mata adalah
melihat. Zina mulut adalah berkata. Zina hati adalah berharap dan berkeinginan.
Sedangkan alat kelamin itu membuktikannya atau mendustakannya,’” (HR Bukhari,
Muslim, Abu Dawud)
Yang dimaksud dalam hadist adalah setiap anggota tubuh memiliki potensi
zina. Dalam konteks hal tersebut dipaksakan kepada orang lain dengan niat buruk
untuk melecehkan atau berbuat mesum. Perzinaan dianggap sangat terkutuk dan
dianggap jarimah dalam islam.
Sanki atau hukuman (‘uqubah) Menurut
hukum pidana Islam seperti yang didefinisikan oleh
Abdul Qadir Audah
dalam Kitab al Tasyri'
al Jina’i al Islami menyatakan bahwa hukuman adalah pembalasan atas
pelanggaran perintah syara’ yang
ditetapkan untuk kemaslahatan
masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
syara’.[3]
Menurut hukuman pokok apabila melakukan zina akan
mendapat hukuman dera seratus kali untuk jarimah zina. Namun setiap perbuatan
pelecehan seksual ada tingkatannya, dari sexual abuse hingga pemerkosaan yang
paling berat. Allah SWT telah memberi peringatan lewat surah Al-Isra ayat 32,
yang artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Dalam ajaran islam,
memegang salah satu anggota bdana lawan jenis saja tidak boleh, apalagi mencium
dan hal lainnya yang mendorong kepada perbuatan asusila. Hal tersebut bahkan
telah ditegaskan didalam surah An-Nur ayat 30-31. Berdasarkan penafsiran
Al-Thabary didalam kitabnya Jami’u al-Bayan fi ayi Al-Qur’an, dijelaskan
bahwa hukuman pelecehan seksual yang paling maksimal adalah menjauhi/pengucilan.
Pengucilan dizaman sekarang bisa dilakukan dengan penjara, namun seluruhnya
tetap harus didasarkan kepada pertimbangan hakim berdasar tingkat kesalahan
yang dilakukan.
Itulah sebabnya Allah
memerintahkan hambanya untuk menikah apabila sudah mampu dan menikah agar hawa
nafsu manusia tidak disalurkan kepada keburukan.
Hukum Pidana
Tindak
pidana pelecehan seksual dapat dituntut dengan dasar pasal 281 KUHP dalam Bab
XIV Tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Segala jenis tindakan pencabulan
dapat dijerat dengan pasal 289 hingga 296 KUHP sesuai tindak pidana yang
dilakukan. Pelaku dapat dikenai sanksi paling lama hingga 15 tahun apabila
dalam pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat. Apabila bukti-bukti
telah cukup maka Jaksa Penuntut umum dapat mengajukan dakwaanya terhadap pelaku
pelecehan seksual di hadapan pengadilan.[4]
Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya”
karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan
sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang
keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah
dada dan sebagainya. Menurutnya segala perbuatan yang melanggar norma kesopanan
dan kesusilaan dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Pelecehan seksual
haruslah mengandung adanya ketidakinginan atau penolakan pada suatu tindakan
apapun dalam bentuk perbuatan atau perhatian yang bersifat seksual.
Pembuktian dalam kasus pelecehan seksual didasarkan pada
pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
menggunakan lima macam alat bukti yakni, keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Kejahatan pelecehan suksual tidak terbatas pada realitas
kehidupan saja, namun tindak pidana pelecehan suksual juga dapat lewat sosial
media. Hal tersebut telah diatur didalam UU ITE tentang ketentuan pornografi. Menyebar
komentar yang mengandung pelecehan seksual, penyebaran video atau gambar maupun
konten asusila, atau penggunaan sosial media sebagai alat untuk mempermudah
kegiatan pelecehan seksual dapat dijerap dengan pasal 4 ayat (1) UU Pornografi
sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU Pornografi, yang berbunyi :
“Setiap
orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”
Serta pasal 296 KUHP, yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan
cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian
atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”
Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dan kapan
saja. Diharapakan agar semua orang berhati-hati, apabila hal seperti itu
terjadi diharap korban dapat langsung melaporkan kejadian sehingga pelaku
pelecehan seksual dapat segera dipidana. Berada ditempat umum pun tindak
pelecehan seksual masih dapat terjadi, sehingga kewaspadaan sangat diperlukan. Untuk
melindungi diri, kita dapat membawa alat pelindung diri seperti semprotan garam
apabila hal yang sangat mendesak seperti percobaan pemerkosaan terjadi. Bimbingan
secara psikologis maupun psikis dangat diperlukan bagi korban agar bisa kembali
di dalam masyarakat.
Referensi :
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam
Aceh, 2015). Cetakan ke 32
Mashudin, I. (2016). Sanksi tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak
dalam perspekrif hukum pidana Islam (Doctoral dissertation, UIN Walisongo).
Annisa, F. (2016). Penegakkan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak
Pidana Pencabulan Dalam Konsep Restorative Justice. ADIL: Jurnal Hukum, 7(2),
202-211.
[2]
Ketentuan Pasal 1 ayat (27), Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum
Jinayat. Dimuat dalam Dinas Syariat Islam, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jinayah, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2015), hlm. 11.
[3]
Mashudin, I. (2016). Sanksi tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak dalam
perspekrif hukum pidana Islam (Doctoral dissertation, UIN Walisongo). Hlm.34